Film Dilan 1990 (Review)

Mau Review film Dilan 1990  nih, tapi jangan pada baper yah , Janji?
Saya Mau Review dari mulai Property yang di gunakan di Film Dilan, karena memang judulnya Dilan 1990 dan property yang di gunakanpun cukup mewakili zaman 90-an, yang dimana tipe rumah, kursi, mobil dan masih ada telepon umum koin yang memang  cukup antik pada zamannya.

Suasana dari 1990-an cukup membawa kita sebagai penonton hanyut dalam masa-masa yang sama, kalau memang kalian lahir di 1990-an mungkin kalian bisa lebih merasakan dari pada saya, film ini berusaha menggambarkan Kota Bandung masih sangat sejuk pada tempo beberapa tahun silam, karena tahun 2018 ini Bandung sudah sangat banyak perubahan, untungnya sutradaranya masih bisa mendapatkan lokasi-lokasi yang mendukung untuk Film ini.

Alur cerita, sejujurnya saya harap untuk kalian yang berkomentar lebih mending baca dulu tiga novel Ayah Pidi Baiq setelah itu kalian boleh nonton deh. Bukan berarti yang belum baca gak boleh nonton loh yah . . ini saran biar lebih gereget aja sih.

Saya adalah salah satu orang yang akan membandingkan ketika sebuah novel di angkat menjadi sebuah film, karena pasti ada bagian yang di padatkan atau mungkin di hilangkan dengan alasan durasi film tak panjang seperti dalam novel.

Saat nonton Film ini, saya seolah hafal skenarionya, karena saya seakan bisa menebak gombalan atau kalimat menggelikan apa saja yang akan di katakan Dilan kepada Milea, mungkin karena sudah tiga kali novel itu saya baca dari beberapa tahun silam, kareana novel tebal yang cukup saya baca dengan waktu satu hari ini terasa ringan bahasanya dan berhasil membawa saya terbawa dalam ceritanya.

Nah itulah yang di harapkan dari film ini, Saya ingin terbawa dalam cerita setiap scene nya walaupun memang durasinya tidak sepanjang novel. Saya memang sempat terbawa di beberapa scene film ini, tapi tak selarut novelnya yang membawa saya lebih terlarut. Tapi film ini tak mengecewakan buat saya dalam sudut pandang pembaca novelnya sekaligus penonton filmnya, karena memang apa yang di gambarkan itu tak jauh seperti dalam novel.

Oh iya. . kalau memang kalian sama seperti saya yang tersenyum-senyum saat membaca kalimat dalam setiap novelnya yang diluar batas menggelikan dengan alasan “Kok bisa ada lelaki kaya Dilan dengan gaya bahasa yang jarang terpikirkan anak muda pada Zamannya?”. Ternyata saat saya menonton Filmnya terasa sangat kocak, banyak scene yang menggelikan yang membuat saya tertawa dan bukan lagi tersenyum. Nanti kalian rasakan saja sensasi setiap scenenya.

Tapi ada scene yang membuat saya kagum dengan Iqbal, yaitu saat Dilan berantem sama Anhar, itu sangat cocok loh bal. (Pujian untuk Iqbal)
Dan ini penting, untuk kalian dulu sempat membayangkan sosok Dilan itu tak seperti Iqbal atau sosok Milea tak seperti Vanesha, mending kalian nonton dulu sana biar bisa menilai secara objektive. Disini saya memang tak mendukung salah satu pihak yah, karena saya pun seorang pembaca yang memiliki imajinasi sosok Dilan sendiri dan sama sekali tidak terpikir Iqbal lah yang akan menjadi Dilan begitupun dengan Mileanya.

Belum puas sih dengan durasi cuma sekian menit, pasti pada penasaran kan apakah ini 3 buku di satu filmkan atau di filmnya persatu novel?
Bakalan tau jawabannya kalau udah nonton deh.

Over all saya suka sama hasil filmya, walaupun memang lebih suka baca novelnya. Tapi saya sangat terima kasih untuk Ayah Pidi Baiq yang sudah menuliskan novel Dilan yang bisa menghibur kita pada masa nya dan untuk Mas Fajar Bustomi juga terima kasih untuk hasil karya filmnya yang bisa mewakili pembaca untuk bisa menemukan sosok Dilan dan Milea. Tapi saya rasa kalian punya sosok Dilan masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Perjalanan Pendidikan Dasar Wanadri

Materi Psikologi Sosial MOTIF

TAHUN PERTAMA KAMI SEBAGAI ANGKATAN TOPAN RIMBA & PUSPA RAWA (DIES #1)